top of page
logo-01.png
kupu kupu 2-01.png
Cerita Sutradara Lamtiar Simorangkir Di Balik Pembuatan Film “Invisible Hopes” (Bagian II)
Invisible hopes 6.png

Artikel ini merupakan lanjutan dari perbincangan Second Chance Foundation dengan sutradara film Invisible Hopes, Lamtiar Simorangkir. Pada bagian kedua ini, Lamtiar mengungkap kenapa film tersebut dikembangkan menjadi film panjang, memori-memori yang berkesan selama proses syuting, dan harapannya atas penayangan film ini.

 

The Invisible Hopes merupakan upaya Tiar dalam mengungkap masalah ini lebih detil dengan menjadikannya sebagai film berdurasi panjang. Dalam proses produksi dan pasca-produksi, kata dia, sempat terkendala dengan pendanaan. Mereka berupaya keras mencari sumber pendanaan alternatif untuk pengembangan film.

“Sambil berjalan, kita cari funding dan pengembangan interview untuk materi filmnya. Lalu pada akhirnya, ternyata setelah bertemu banyak pihak, ada orang yang mengenalkan kita ke Kedutaan Norwegia dan Swiss. Mereka kebetulan sedang ada program terkait isu hak asasi manusia. Saya sampaikan ke mereka film ini bisa menjadi sarana advokasi HAM, khususnya untuk perempuan dan anak,” kata Tiar.

Berkat dukungan perwakilan negara sahabat, film ini berhasil diselesaikan dengan baik. Dikarenakan pandemi Covid-19, film ini baru bisa ditayangkan pada tahun 2021. Film ini mendapatkan sambutan positif dari para penonton. Menurut Tiar, kebanyakan dari penonton cenderung terkejut karena baru pertama kali melihat lebih jauh kehidupan para WBP perempuan hamil dan yang mengasuh anaknya di lapas atau rutan.

Invisible hopes 3.png

“Di Februari ada penayangan terbatas dengan pihak Kemenkumham, Ombudsman, KPAI, dan Komnas HAM. Respons mereka kaget, karena belum melihat sedetil apa yang ada di film. Jadi intinya waktu itu ada beberapa rekomendasi yang dihasilkan saat itu, yang nanti kami berharap kita bisa ditindaklanjuti bersama. Saat premiere ada juga NGO, lembaga lain, dan kedutaan. Kalau pihak kedutaan sejak awal kami tunjukkan teaser-nya juga kaget dengan situasinya, mereka jadi merasa tergugah untuk kemudian mendukung pengembangan film ini,” papar dia.

Memori dan harapan

Ada banyak memori yang berkesan bagi Tiar selama produksi film ini. Salah satu contohnya ketika ia melihat sejumlah anak dari para WBP perempuan yang mendorong-dorong jeruji besi di lapas.

“Saya jadi terbayang momen mereka harus bersama Ibunya, enggak bisa keluar, tinggal di ruangan yang terbatas bersama Ibunya.  Saya yakin setiap manusia kan ada fase jenuhnya gitu kan, kayak kita yang jarang keluar rumah itu ada perasaan ingin keluar rumah, kan? Nah apalagi mereka, begitu,” kata Tiar.

Pada saat melakukan riset lapangan untuk filmnya, ia juga melihat seorang anak tinggal bersama ibunya di dalam ruangan yang berisi 42 orang WBP. Ketika berbincang-bincang dengan sejumlah petugas lapas dan WBP di wilayah Semarang itu, tiba-tiba Tiar mendengar bunyi lonceng.

“Bel masuk ya, saat itu saya enggak tahu tuh kalau itu semacam bel masuk. Begitu dengar lonceng, anak ini kiss bye ke saya. Terus dia pergi. Saya kan bingung, anak ini mau kemana? Saya tanya ke petugasnya, anak ini kemana, eh ternyata ke dalam. Itu artinya masuk sel. Saya kaget, saya merasa berarti anak ini sudah ‘terbiasa’ dan menganggap dirinya seolah seperti WBP jadi ikut merasa harus mengikuti peraturan itu,” ungkapnya.

Tiar berharap melalui film ini, semua pihak bisa mendukung adanya perubahan kualitas hidup untuk WBP perempuan hamil atau yang mengasuh beserta anak-anaknya di dalam lapas. Ia meyakini persoalan ini merupakan tanggung jawab bersama yang patut diselesaikan bersama-sama pula.

“Kami berharap film ini bisa dijadikan alat pemantik diskusi dan advokasi tentu juga sebagai edukasi, karena banyak orang yang tidak begitu mengetahui seperti apa kehidupan dalam penjara dan banyak hal-hal yang bisa kita pelajari dari situ supaya bisa diperbaiki lagi, serta untuk meningkatkan kesadaran publik agar semakin peduli,” pungkasnya.

Invisible Hopes berhasil memenangkan kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2021 di Jakarta Convention Center, Rabu (10/11/2021) 

 

Dalam kategori dokumenter ini, Invisible Hopes mengalahkan Bara (The Flame) karya Arfan Sabran, Catharina Leimena: The Show Must Go On karya Patar Simatupang, Kemarin karya Upie Guava dan Parherek (Penjaga Monyet) karya Onny Kresnawan.

OUR CONTACTS

icon contact-01.png

The East Tower lt. 33

Jl. DR. Ide Anak Agung Gde Agung No. 2 

RT.5/RW.2, Kuningan, Kuningan Tim., Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12950

icon contact 2-01.png

+62 21 579 00701

icon contact 3-01.png
  • Facebook
  • Twitter
  • YouTube
  • Instagram
bottom of page