

Cerita Sutradara Lamtiar Simorangkir Di Balik Pembuatan Film “Invisible Hopes” (Bagian I)

JAKARTA, SC – Film Invisible Hopes karya sutradara Lamtiar Simorangkir memotret kehidupan warga binaan pemasyarakatan (WBP) perempuan hamil serta yang mengasuh anak-anak di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan).
Film ini telah ditayangkan secara berkala di sejumlah bioskop di Jakarta seusai penayangan perdananya pada bulan April silam. Pada Sabtu, tanggal 12 Juni 2021 silam, Second Chance Foundation berkesempatan ikut dalam acara nonton bareng film tersebut di bioskop bersama Lamtiar dan timnya.
Perempuan yang akrab disapa Tiar ini menceritakan, ide awal pembuatan film Invisible Hopes bermula saat ia bertemu dengan seorang aktivis anak.
“Dia bilang, ‘Tahu enggak kalau di penjara itu cukup banyak perempuan yang melahirkan anak-anaknya di penjara. Di sana, banyak ibu-ibu hamil juga’. Di situ saya kaget, loh emang ada? Karena sebelumnya saya enggak tahu isu itu. Saya jadi terbayang bagaimana anak ikut berada di dalam, enggak bisa bermain bebas. Saya jadi teringat, sementara masa kecil saya bahagia, saya punya banyak teman, saya bisa bermain dengan bebas ke sana kemari,” kata Tiar saat berbincang dengan Second Chance Foundation.
Saat itulah, ia mengajak sejumlah koleganya untuk membuat film ini. Pada awalnya, format film Invisible Hopes berupa film pendek. Dikarenakan niat awal mereka saat itu ingin sekadar menunjukkan situasi dimana anak-anak dilahirkan dan dibesarkan oleh ibunya dari balik jeruji.
“Kita berupaya mengurus izin. Alhamdulillah, meski agak lama, akhirnya kita dapat izin. Kita mengembangkan riset literatur, riset di lapangan sekitar 10 bulan selama tahun 2017. Dan mulai syuting filmnya di tahun 2018. Syutingnya itu dua penjara di Jakarta dan dua penjara di Bandung selama 6 bulan. Kemudian syuting untuk beberapa interview di luar penjara,” ujar Tiar.
Pada awal proses syuting, tidak mudah bagi Tiar dan kru mendapatkan kepercayaan dari sejumlah WBP perempuan untuk mau bercerita. Lamtiar beserta kru perlahan membangun komunikasi dengan mereka. Dengan meyakinkan bahwa film ini nantinya akan membantu mereka mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Alhasil, keberadaan Tiar dan kru disambut baik. Selama Tiar dan kru melakukan syuting seolah sudah dianggap sebagai teman, bukan lagi orang asing.

Saat proses syuting berjalan, Tiar melihat masalah yang dialami WBP perempuan hamil maupun perempuan yang mengasuh anaknya di dalam lapas atau rutan ternyata lebih kompleks. Pertama, minimnya dukungan keluarga. Menurut Tiar, ada WBP perempuan hamil atau yang mengasuh anaknya tidak mendapat dukungan penuh dari keluarganya yang berada di luar.
“Karena masih ada keluarga yang mengganggap aib jika anggotanya dipenjara, gitu ya. Atau misalnya mereka enggak sanggup untuk membantu kehidupan WBP ibu bersama anaknya ini karena keterbatasan ekonomi, atau lokasi tinggal mereka dengan lapas begitu jauh,” katanya.
Hal itu tergambar di film ketika seorang WBP perempuan hamil kesulitan mendapatkan uang dari keluarga demi membantunya menempuh persalinan sesar.
Kedua, Tiar dan kru melihat dukungan fasilitas dan pendanaan untuk menunjang kualitas hidup WBP perempuan hamil atau yang sedang mengasuh anaknya juga masih minim. Misalnya, mereka harus tinggal bersama anaknya dengan WBP perempuan lain di ruangan terbatas. Mereka juga kerap kesulitan membiayai hidup anaknya sehingga mereka harus bekerja demi mencari nafkah.

“Jadi ada WBP ibu-ibu yang dia harus kerja sambil membesarkan anak. Biasanya mereka nyuci baju WBP lain, kan biasanya ada WBP lain yang lebih mampu, gitu ya, keluarganya. Jadi dia nyuci dapat uang Rp 50.000 seminggu. Atau mereka juga dapat donasi dari sesama WBP lainnya untuk bantu beli popok, beli susu. Kadang ada bantuan juga dari donatur dari luar penjara. Berikutnya, ruangan kamar yang kurang layak dan terbatas untuk bayi dan ibu hamil itu juga minim,” paparnya.
Masalah kompleks lainnya, para WBP perempuan hamil dan yang mengasuh anak-anaknya rentan mengalami stress karena beberapa faktor. Misalnya, tekanan emosi dalam menjalani proses hukum, keluarga yang tak peduli, hingga sang suami yang tak jelas keberadaannya. Emosi tersebut berisiko dilampiaskan ke orang sekitar, termasuk anak sendiri.
Di sisi lain, ada pula yang kecanduan mengonsumsi narkoba sampai nekat menyelundupkan zat tersebut untuk dikonsumsi secara pribadi atau dijual ke WBP lainnya untuk biaya hidup. Tindakan mereka menyebabkan potensi gangguan kesehatan atau mendapatkan sanksi tegas dari petugas.
OUR CONTACTS

The East Tower lt. 33
Jl. DR. Ide Anak Agung Gde Agung No. 2
RT.5/RW.2, Kuningan, Kuningan Tim., Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12950

+62 21 579 00701
